Dewasa
ini kota Lhokseumawe sedang heboh-heboh nya akan peraturan yang di kemukakan
oleh pemkot tentang pelarangan wanita yang berboncengan duduk mengangkang dan
di haruskan untuk duduk menyamping di atas kendaraan sepeda motor, Namun jika
di telaah secara bijaksana oleh akal sehat kita memang itu suatu hal yang
positif bagi kecakapan syariat islam di aceh yang saat ini sudah terlalu pudar
khususnya di Nanggro Aceh Darussalam yang dulu nya sangat mengandung
nilai-nilai agama yang kuat dan moral yang tinggi yang sudah tercemar oleh gaya
ke barat baratan sehingga menurunkan nilai moral bangsa Aceh khususnya para
remaja dan juga orang tua yang bertempat tinggal di perkotaan, berbeda dengan
masyarakat yang berdomisili di perkampungan yang masih meninggalkan nilai-nilai
budaya yang kuat dan keagamaan yang kuat.
Wacana
larangan duduk mengangkang bagi wanita yang dibonceng di atas sepeda motor ini
sebetulnya sudah dilontarkan Suaidi Yahya ke ranah publik pada malam pergantian
tahun 2012 ke 2013. Langsung saja idenya itu menuai respons publik yang luar
biasa. Ramai yang pro tapi yang kontra pun tidak kalah banyak nya. Bagi
kalangan yang pro terhadap peraturan tersebut di luap kan dengan aksi memasang
spanduk milik berbagai ormas untuk memberikan dukungan penuh atas ide Wali Kota
Suaidi Yahya untuk segera menerapkan aturan larangan mengangkang ini. Terlihat
spanduk bertebaran di sejumlah lokasi. Misalnya, di depan kantor wali kota,
Lapangan Hiraq, dan di sepanjang jalan samping Masjid Agung Islamic Center.
Mungkin
dasar kata yang mendasari dukungan mereka terhadap hal ini ialah Globalisasi,
Globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh yang semakin
merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat ini suka
menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu, bahkan mereka
bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak lagi hormat
kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan dengan
pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa yang
selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga apabila
anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang seperti ini
dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat hal-hal seperti
ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal seperti ini biasa
saja.
Globalisasi
telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat
baik. Virus ini semakin lama semakin susah untuk dikontrol. Perubahan-perubahan
pada kebiasaan masyarakat aceh semakin terasa, masyarakat Aceh yang sebelumnya
sangat kekeluargaan menjadi masyarakat individualis dan tidak memperdulikan
orang sekitar.
Kemerosotan
moral dan kebudayaan akibat globalisasi mulai merebak di Aceh semenjak tahun
2000-an, namun semakin buruk pasca tsunami, kemungkinan besar ini karena
banyaknya NGO yang masuk ke Aceh dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.
Bahkan angka perceraian meningkat sejak masuknya LSM-LSM yang mengatakan mereka
adalah pejuang kesetaraan gender. Hal-hal sepele dalam keluarga yang tadinya
dapat diselesaikan secara baik-baik saat ini bisa menjadi permasalahan besar
dan berakhir pada perceraian, begitu lah asal mula dasar pemikiran yang pro
terhadap peraturan ini.
Namun
dengan hal tersebut, tidak hilang juga protes dari kalangan yang kontra dengan
peraturan ini yang mendasarkan sangat tidak masuk akal dan membahayakan
keselamatan perempuan, khususnya mereka yang berusia lanjut atau pun yang masih
muda.
Sekarang
yang menjadi asal mula tidak setuju nya masyarakat terhadap peraturan ini ialah
apa yang sudah di berikan oleh pemerintah kota kepada masyarakat, sehingga di
hadapkan dengan poin yang tidak terlalu harus di laksanakan pada saat ini, Mestinya
pemerintah kota dapat memastikan semua warga menikmati pendidikan berkualitas
secara gratis, layanan kesehatan, ketersediaan air bersih, listrik dan bahan
sandang serta pangan yang terjangkau. Selain itu, memberdayakan masyarakat,
terutama perempuan, mengurangi pengangguran dan membasmi koruptor dan juga
menghilangkan para konglemerasi yang juga menjadi penyebab hilang nya nilai dan
moral bangsa Aceh seperti cafe remang-remang dan juga pondok-pondok yang masih
banyak di skat-skat untuk orang memadu kasih, Sehingga seluruh warga terutama
yang tidak mampu dapat hidup sejahtera Itulah masyarakat islami yang
berlandaskan syariat Islam, Ibarat kata “ Bukannya sedia payung sebelum hujan
tapi membawa pakaian ganti kalau kehujanan."
Penulis : Zulkhairi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi,Unimal
Penulis : Zulkhairi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi,Unimal
0 komentar:
Posting Komentar